News Update :

Halaman

DATA KEMISKINAN INDONESIA

Rabu, 13 Juni 2012

rumahpemberdayaanmasyarakat.blogspot.com,Jakarta--Data kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan penurunan jumlah rakyat miskin sebanyak satu juta jiwa dinilai sebagai data semu. Pasalnya, angka tersebut diperoleh dari hasil survei yang terkontaminasi dengan pembagian beras miskin atau raskin.Selain itu, penetapan garis kemiskinan yang digunakan BPS dianggap terlalu rendah dan tidak sesuai dengan patokan Bank Dunia yang menggunakan basis purchasing power parity (PPP) di bawah 2 dollar AS per orang per hari.

Direktur International Center for Applied Finance and Economics (Inter-Café) Iman Sugema mengatakan pemerintah diharapkan tidak memercayai data yang disuguhkan oleh BPS. Pasalnya, data yang diberikan tidak valid mengingat adanya pemberian bantuan dari pemerintah saat dilakukan survei kemiskinan.

“Segitu saja sudah dibantu dengan raskin yang dipaskan dengan waktu surveinya, apalagi kalau tidak ada, bisa tambah parah. Data BPS ini terkontaminasi dengan adanya pembagian raskin,” tegas dia di Jakarta, Jumat (1/7).
 
BPS melaporkan jumlah penduduk miskin turun sekitar satu juta jiwa pada periode Maret 2010-Maret 2011, lebih rendah dibandingkan penurunan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 1,51 juta jiwa. Menurut BPS, untuk periode Maret 2010-Maret 2011, jumlah penduduk miskin 30,02 juta jiwa atau 12,49 persen dari total penduduk Indonesia. Angka tersebut turun dibandingkan data periode sebelumnya yang mencapai 31,02 juta jiwa (13,33 persen).

Hal senada diungkapkan pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Aris Yunanto. Aris menambahkan pemerintah kerap kali menyiasati momentum survei dengan pengucuran bantuan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Secara otomatis, saat itu kebutuhan masyarakat miskin terpenuhi. “Data BPS itu sifatnya semu sekaligus politis. Jadi, sebenarnya orang miskin justru meningkat, bukannya berkurang,” jelas dia.Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, juga mengatakan survei kemiskinan yang dilakukan Maret lalu diikuti dengan campur tangan pemerintah. Pasalnya, dalam penentuan kemiskinan, 60 persen bobotnya ditentukan oleh beras, sementara pada Maret pemerintah dua kali menggelontorkan beras raskin yang ditengarai untuk membantu masyarakat miskin.

Terlebih, lanjut Aris, parameter yang dipakai BPS untuk standardisasi angka kemiskinan tidak mengacu Bank Dunia yang menyatakan bahwa PPP atau pendapatan per hari masyarakat tidak miskin minimal 2 dollar AS per hari.

“Pemerintah berlindung di balik kalimat negara berkembang sehingga sebagai negara berkembang Indonesia sah-sah saja menetapkan ukuran berbeda dengan Bank Dunia. Padahal, banyak negara berkembang yang sudah memakai standar Bank Dunia,” beber dia.

Jika mengacu pada kriteria Bank Dunia, dari 231 juta total populasi Indonesia, sekitar 117 juta jiwa atau 50,6 persen di antaranya dikategorikan sebagai penduduk yang sangat miskin.

Tingginya jumlah kemiskinan di Tanah Air juga dibarengi dengan merosotnya daya beli riil rakyat miskin. Menurut perhitungan Koran Jakarta, setiap 1 dollar AS pada 2001 dapat dibelanjakan 3,76 kilogram (kg) beras jenis medium atau 2,45 liter minyak goreng, namun pada 2010 hanya bisa membeli 1,18 kilogram beras atau 0,79 liter minyak goreng. Artinya, harga komoditas pangan sudah naik tiga kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir.

Tidak Terintegrasi
Menurut Iman, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa dikatakan cukup tinggi dan semestinya diikuti dengan penurunan angka kemiskinan yang lebih cepat. Namun, kendala yang dihadapi Indonesia adalah masalah distribusi pendapatan, yaitu pertambahan pendapatan orang miskin tidak secepat peningkatan pendapatan di penduduk kalangan atas. “Makanya banyak yang tertinggal. Oleh karena itu, pemerintah harus memikirkan bagaimana strategi pertumbuhan ekonomi bisa terjadi di kalangan terbawah,” kata dia.

Sementara itu, pengamat ekonomi Econit, Hendri Saparini, mengatakan pemerintah disarankan tidak mengeluarkan kebijakan yang mendorong bertambahnya angka kemiskinan. “Pokoknya kebijakan yang dikeluarkan tidak boleh kontraproduktif dengan kebijakan pengentasan kemiskinan yang telah dirancang,” ujar dia.

Kesulitan pemerintah menurunkan angka kemiskinan, menurut Hendri, lebih disebabkan oleh paradigma tentang pengentasan rakyat dari kemiskinan yang tidak terintegrasi dengan strategi pembangunan ekonomi.

“Selain melaksanakan program pengentasan kemiskinan, pemerintah mengeluarkan kebijakan, contohnya dalam hal perdagangan liberal yang menghasilkan orang miskin baru atau kebijakan fiskal, misalnya yang menaikkan harga BBM, gas, dan tarif listrik bersamaan,” ujarnya.

Menurut dia, selama ini pengentasan masyarakat dari kemiskinan dilakukan hanya dengan menggelontorkan dana sebesar-besarnya, padahal hal ini tidak menjamin bisa mengurangi angka kemiskinan di dalam negeri.

“Seolah-olah pengentasan kemiskinan hanya cukup dengan anggaran besar. Tahun 2004 dianggarkan sebesar 18 triliun rupiah, pada 2010 meningkat tajam sebesar 62 triliun rupiah, dan 2011 sebesar 90 triliun rupiah, tetapi angka kemiskinan tidak berubah banyak. Ada program kemiskinan, tapi di sisi lain kebijakan pemerintah membuat orang miskin,” jelas Hendri.

Dengan adanya pemberian raskin sebanyak dua kali pada bulan Maret 2011 berbarengan dengan pemotretan data kemiskinan, Hendri menilai BPS memotretnya berdasarkan asumsi. “Asumsi itu kan bisa salah bisa tidak, itu kan potret bulan Maret yang ditunjang oleh raskin dan BLT (bantuan langsung tunai),” ungkapnya.

Kepala BPS Rusman Heriawan menjelaskan jumlah penduduk miskin perdesaan turun lebih besar dibandingkan penduduk miskin perkotaan. Di perdesaan, setahun terakhir ini penurunan jumlah penduduk miskin tercatat 953.000 jiwa, sedangkan di perkotaan penduduk miskin turun 51.000 jiwa. “Jumlah penduduk miskin perdesaan memang lebih besar,” tegas dia.

Menurut Rusman, perhitungan penduduk miskin dihitung menggunakan pendekatan kebutuhan dasar yang dihitung berdasarkan konsumsi kalori rata-rata 2.100 kalori per hari. Angka di bawah itu bisa dikatakan miskin bila mengeluarkan biaya untuk makan rata-rata 73,52 persen dari penghasilannya. “Garis kemiskinan naik 10,39 persen dibanding tahun sebelumnya dari 211.726 rupiah menjadi 233.740 rupiah per bulan,” jelas dia.

Rusman mengatakan beberapa faktor yang membuat penurunan penduduk miskin setahun terakhir ini di antaranya inflasi yang secara umum tercatat rendah, yakni periode Maret 2010-Maret 2011 sebesar 6,65 persen. Upah buruh juga naik 7,40 persen dan produksi padi naik 2,4 persen menjadi 68,06 juta ton gabah kering giling. Hal ini menyebabkan perbaikan penghasilan petani. “Sektor pertanian ini sangat berperan besar menyerap tenaga kerja,” ucapnya.
Share this Article on :

0 komentar:

Posting Komentar

 

© Copyright Rumah Pemberdayaan Masyarakat 2010 -2011 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.